Wajib Baca! Tatapan Yang Membakar Setiap Doa
Tatapan yang Membakar Setiap Doa
Gerimis senja menari di kaca jendela Paviliun Anggrek, memburamkan pemandangan taman yang dulunya saksi bisu janji-janji abadi. Mei Lan, dengan gaun sutra putih gading yang memeluk tubuhnya anggun, menyesap teh melati yang aroma harumnya gagal menutupi kepahitan di hatinya. Lima tahun. Lima tahun ia abdikan hidupnya untuk pria itu, pria yang kini berdiri di hadapannya, tatapannya dingin dan asing.
Li Wei. Namanya dulu mantra baginya, melodi indah yang menggetarkan jiwanya. Senyumnya dulu mentari di hidupnya, kini hanya topeng yang menyembunyikan ambisi. Pelukannya dulu rumah yang nyaman, kini jerat yang menyesakkan.
"Maafkan aku, Mei Lan," bisiknya, suaranya bagai angin utara yang membekukan darah. "Aku harus menikahi Putri Huan."
Kata-kata itu bagai belati yang menembus jantung Mei Lan. Bukan amarah yang menyembur, melainkan rasa hampa yang begitu dalam. Lima tahun, dan semuanya lenyap seperti embun pagi. Ia mendongak, menatap Li Wei lurus, mata elangnya tak bergetar sedikit pun.
Senyum tipis terlukis di bibirnya. "Kau tak perlu meminta maaf, Li Wei. Kau hanya mengikuti takdirmu."
Malam-malam selanjutnya diisi Mei Lan dengan merajut strategi. Bukan dendam berdarah yang ia inginkan, melainkan penyesalan abadi. Ia mengamati Li Wei, mempelajari kelemahannya, memahami ambisinya. Ia tahu, menikahi Putri Huan hanya batu loncatan menuju tampuk kekuasaan. Dan ia, Mei Lan, akan menjadi kerikil yang membuat Li Wei tersandung.
Pernikahan Li Wei dan Putri Huan berlangsung meriah. Mei Lan hadir, mengenakan gaun merah menyala yang menantang kesedihan. Ia bergerak anggun di antara para tamu, menyebarkan bisikan-bisikan halus yang meracuni telinga para pejabat. Bisikan tentang Putri Huan yang boros dan manja, tentang Li Wei yang haus kekuasaan, tentang intrik istana yang mematikan.
Seminggu kemudian, Putri Huan mendapati dirinya dijauhi para selir. Dua minggu kemudian, ayahnya, Kaisar, mulai mempertanyakan kesetiaan Li Wei. Sebulan kemudian, Li Wei mendapati dirinya kehilangan sekutu.
Ia menoleh, mencari Mei Lan di antara kerumunan. Tatapan mereka bertemu. Mata Mei Lan memancarkan ketenangan yang menusuk, senyumnya setajam pisau es. Li Wei menyadari, ia telah meremehkan wanita ini. Ia telah menukar berlian demi kerikil yang kini menghancurkan kerajaannya.
Bertahun-tahun kemudian, Li Wei hidup dalam penyesalan. Ia berkuasa, memang, tapi kekuasaannya hampa. Ia merindukan Mei Lan, merindukan ketulusan yang telah ia campakkan. Ia tahu, bayangan Mei Lan akan menghantuinya selamanya.
Mei Lan, di sisi lain, melanjutkan hidupnya. Ia menjadi penasihat istana yang dihormati, kebijakannya bagai air jernih yang menyejukkan negeri. Ia tidak pernah menikah, tidak pernah mencintai lagi. Ia memilih untuk mengabdikan dirinya pada rakyat, menebus rasa sakitnya dengan pengorbanan.
Namun, setiap kali ia melihat mentari terbit, ia teringat Li Wei. Setiap kali ia mendengar melodi indah, ia teringat janji-janji yang terucap di Paviliun Anggrek.
Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama, dan akarnya menjalar jauh lebih dalam dari yang kita kira...
You Might Also Like: Skincare Terbaik Dengan Harga_6