Cerita Seru: Bayangan Yang Tak Sempat Kulepaskan
Hujan menggigil di atas atap kedai teh reyot, persis seperti hatiku, dingin dan tanpa ampun. Aroma teh Longjing gagal menutupi bau kenangan pahit yang menyeruak. Di seberang meja, duduklah dia, Lin Wei, sosok yang dulu kurangkai dalam mimpi-mimpi indah. Matanya, redup seperti lentera yang nyaris padam, tak lagi memancarkan cinta. Hanya ada kehampaan.
"Lama tidak bertemu, Mei Hua," suaranya serak, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh hujan. Setiap suku katanya terasa seperti jarum menusuk-nusuk dadaku. Dulu, suaranya adalah melodi indah yang menenangkan jiwa. Sekarang, hanya gema pengkhianatan.
Lima tahun berlalu sejak malam itu, malam di mana aku menemukan Lin Wei berpelukan dengan sahabatku, Xiao Yun, di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran. Lima tahun aku membawa bayangan patah hati ini, bayangan yang tak pernah bisa kulepaskan.
"Wei," sahutku lirih, nama itu terasa berat di lidah. "Untuk apa kau menemuiku?"
Dia menghela napas panjang, matanya menerawang ke luar jendela. "Aku ingin minta maaf. Aku tahu kata-kata ini tak akan cukup, tapi…"
"Tapi apa?" Aku mendesaknya, nada suaraku meninggi. "Kau pikir maafmu bisa mengembalikan kepercayaanku? Mengembalikan kehormatan yang kau rampas?"
Lin Wei menunduk, bahunya bergetar. Aku bisa merasakan kepedihannya, tapi kali ini, hatiku membeku. Selama ini, aku mengutuk diriku sendiri, menyalahkan diri karena tidak cukup baik untuknya. Aku merenung, menimbang, mencerna setiap detail perihnya kenangan itu. Dan kini, di kedai teh yang remang-remang ini, semuanya menjadi jelas.
Aku tersenyum, senyum yang dingin dan berbahaya. "Kau benar, Wei. Maafmu tidak berarti apa-apa. Tapi aku akan menerimanya."
Lin Wei mengangkat kepalanya, matanya menunjukkan secercah harapan. "Benarkah?"
Aku mengangguk, meraih cangkir tehku dan menyesapnya perlahan. "Tentu saja. Aku menerimanya… sebagai awal dari pembalasanku."
Senyumnya memudar, digantikan dengan ketakutan yang terpancar jelas. Dia mencoba berbicara, namun kata-katanya tercekat di tenggorokan. Aku menatapnya lurus, seolah bisa menembus jiwanya.
"Kau tahu, Wei," bisikku, suaraku rendah dan mengancam. "Xiao Yun tidak pernah mencintaimu. Dia hanya pion dalam permainanku."
Wajah Lin Wei pucat pasi. Rahasianya, yang selama ini dia kira aman terkubur, kini terbongkar di depan matanya. Aku bisa melihat penyesalan dan ketakutan bercampur aduk dalam tatapannya.
Aku berdiri, meninggalkan cangkir teh yang isinya belum habis. Hujan masih mengguyur, semakin deras dan dingin. Sebelum beranjak pergi, aku berbalik dan menatapnya sekali lagi.
"Ternyata, cincin yang kau berikan padaku dulu… bukanlah satu-satunya kunci dari kehancuranmu."
You Might Also Like: Jual Skincare Yang Cocok Untuk Semua