Dracin Seru: Senyum Yang Tak Sempat Kuterima
Senyum yang Tak Sempat Kuterima
Hujan gerimis membasahi atap paviliun, serupa air mata langit yang enggan reda. Di bawahnya, aku dan Lian duduk berhadapan, cangkir teh berasap menjadi saksi bisu. Kami, yang tumbuh bersama di bawah naungan pohon wisteria yang sama, kini terpisah jurang yang tak terukur. Jurang yang bernama... KEBENARAN.
"Lian," ujarku pelan, suaraku serak menahan badai dalam dada. "Dulu, aku percaya padamu lebih dari diriku sendiri."
Lian menyesap tehnya, sorot matanya setajam belati terhunus. "Kau terlalu naif, Gege (Kakak). Kepercayaan adalah barang mewah yang tak mampu kita beli di dunia ini."
Dulu, senyum Lian adalah mentari bagiku. Hangat, tulus, dan menenangkan. Tapi sekarang? Senyum itu terasa seperti duri yang tersembunyi di balik sutra.
Kami tumbuh bersama di Klan Bai, diasuh sebagai pewaris. Aku, yang lebih tua, selalu melindunginya. Lian, dengan kecerdasan dan kelicikannya, selalu mendukungku. Kami adalah satu kesatuan, tak terpisahkan. Setidaknya, itulah yang kurasakan.
Misteri mulai menyelimuti hari-hariku ketika aku menemukan catatan kuno di perpustakaan terlarang. Catatan tentang pengkhianatan. Tentang seorang anggota Klan Bai yang bersekutu dengan musuh untuk menumbangkan kekuasaan. Awalnya, aku mengira itu hanya legenda. Tapi semakin dalam aku menyelidiki, semakin nyata bayangan pengkhianatan itu.
"Kau tahu, Gege," kata Lian, meletakkan cangkirnya dengan bunyi klik yang memecah keheningan. "Aku selalu iri padamu. Kau dilahirkan dengan kelebihan, dengan cinta keluarga. Aku... hanyalah bayanganmu."
Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Kata-kata Lian adalah pengakuan. Pengakuan yang meremukkan hatiku menjadi ribuan keping. Dialah pengkhianat itu. Lian-ku.
"Mengapa?" tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar. "Mengapa kau menghancurkan segalanya?"
Lian tertawa, tawa yang dingin dan hampa. "Karena aku ingin merebutnya. Semua yang menjadi milikmu. Kekuasaan, kehormatan, bahkan... cinta Ayah (Ayah)."
Kebenaran menghantamku seperti gelombang tsunami. Selama ini, aku hidup dalam kebohongan. Lian mengkhianatiku, mengkhianati Klan Bai, demi ambisinya sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, dia melakukannya dengan senyum di bibirnya.
Balas dendam membara dalam diriku. Aku bangkit, menghunus pedangku. Lian pun melakukan hal yang sama. Kami bertarung, bukan sebagai saudara, bukan sebagai teman, tapi sebagai musuh bebuyutan. Setiap ayunan pedang adalah luapan amarah, setiap tebasan adalah jeritan hati yang terluka.
"Kau tidak akan menang, Lian," desisku, napasku tersengal. "Klan Bai tidak akan pernah jatuh ke tangan pengkhianat!"
"Kita lihat saja, Gege," jawab Lian, matanya berkilat penuh tekad. "Sejarah akan menuliskan siapa yang menang dan siapa yang kalah."
Pertarungan kami mencapai klimaksnya saat pedang kami bertemu, menghasilkan suara denting yang memekakkan telinga. Di saat yang bersamaan, aku melihat kesempatan. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku menusukkan pedangku ke jantung Lian.
Dia terhuyung mundur, darah membasahi jubahnya. Senyum yang dulu ku kagumi kini menghilang, digantikan oleh ekspresi terkejut dan kecewa.
"Jadi... ini akhirnya?" bisiknya, suaranya melemah.
Aku menatapnya, mataku dipenuhi kesedihan dan kemarahan. "Ya, Lian. Inilah akhir dari pengkhianatanmu."
Lian terhuyung jatuh ke tanah. Sebelum matanya tertutup sepenuhnya, dia berbisik, "Aku... selalu mencintaimu, Gege. Tapi... aku lebih mencintai KEKUASAAN."
Dia menghembuskan napas terakhirnya.
Aku terdiam, memandangi jasad Lian yang tergeletak di depanku. Hujan semakin deras, seolah langit pun ikut berduka. Aku telah membalas dendam, tapi kemenangan ini terasa pahit. Aku kehilangan segalanya. Saudara, teman, dan mungkin... diriku sendiri.
Semoga saja... setelah semua ini... aku bisa bertemu lagi denganmu... di kehidupan selanjutnya... dan... mungkin... kali ini... kita bisa menjadi saudara... yang sesungguhnya...
You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Terbaik Dengan