Wajib Baca! Aku Mencintaimu Dalam Kebisuan, Tapi Kebisuan Itu Menjerit
Aku Mencintaimu dalam Kebisuan, Tapi Kebisuan Itu Menjerit
Malam itu, istana gemerlap dengan lampion merah. Namun, di balik kilau mewah sutra dan gemerincing gelas anggur, LU JINGYI berdiri bagai patung es. Dulu, ia adalah putri kesayangan, kekasih Kaisar yang penuh janji. Sekarang? Ia hanyalah bayangan, bekas luka yang disembunyikan di balik senyum pahit.
Dihancurkan. Itu kata yang tepat. Cinta yang ia berikan pada Kaisar, KECINTAAN BUTA, dibalas dengan pengkhianatan. Kekuasaan yang ia percayai akan melindunginya, justru menggunakannya sebagai pion dalam permainan politik kotor. Ia kehilangan segalanya: keluarga, nama baik, bahkan suaranya. Bukan secara literal, tapi jiwanya terlalu lelah untuk berteriak.
Dunia mengira Jingyi telah binasa. Mereka salah. Ia hanya bersembunyi, tumbuh di balik puing-puing harapan, seperti bunga teratai yang mekar di air keruh. Kecantikannya masih memancar, tetapi ada lapisan baja di baliknya. Kelembutan raut wajahnya menyimpan ketegasan yang mengerikan. Luka-luka itu diubah menjadi KEKUATAN.
Jingyi belajar seni keheningan. Ia mengamati, merencanakan, dan menunggu. Ia menjadi penasihat Kaisar yang baru, seorang pemuda polos yang terpikat pesona dan kebijaksanaannya. Ia membisikkan saran-saran yang terdengar bijak, namun perlahan menggerogoti fondasi kerajaan. Ia tidak berteriak, tidak mengamuk. Dendamnya adalah melodi yang mematikan, dimainkan dengan keanggunan seorang maestro.
Setiap keputusan Kaisar yang salah, setiap intrik istana yang berdarah, adalah not dalam simfoni balas dendam Jingyi. Ia tidak ingin tahta. Ia tidak menginginkan kekayaan. Ia hanya ingin melihat kerajaan yang telah merebut segalanya darinya runtuh di hadapannya, seperti istana pasir yang tersapu ombak.
Dan perlahan, PASTI, keruntuhan itu dimulai. Kerajaan yang dulu perkasa kini terpecah belah, dilanda korupsi dan pemberontakan. Kaisar muda, yang tadinya gagah berani, kini hanya boneka di tangannya.
Pada malam perayaan kejatuhan kerajaan, Jingyi berdiri di balkon istana yang sunyi. Lampion merah telah padam, digantikan oleh kobaran api. Ia menatap langit, tanpa emosi. Tidak ada kemenangan, tidak ada kepuasan. Hanya keheningan yang lebih dalam dari sebelumnya.
Jingyi membalikkan badan, meninggalkan reruntuhan di belakangnya. Ia berjalan menuju masa depan yang belum tertulis, dengan kepala tegak dan senyum tipis di bibirnya.
Dan saat ia menghilang di kegelapan malam, satu kalimat terlintas di benaknya:
"Kini, aku adalah kerajaanku sendiri."
You Might Also Like: Dracin Seru Air Mata Yang Menjadi