TOP! Senyum Yang Menjadi Akhir Dunia
"Lama tidak bertemu, Lin," ucap Zhao, suaranya serak, tak sehangat dulu.
Lin hanya mengangguk kecil. Lama? Lima tahun terasa seperti lima abad sejak malam pengkhianatan itu. Malam di mana Zhao, dengan senyum manis yang sekarang terasa bagai pedang, menghancurkan hatinya menjadi serpihan debu.
"Aku tahu kamu membenciku," lanjut Zhao, matanya menyorotkan penyesalan.
Di luar, petir menggelegar, membelah langit yang kelam. Cahaya lentera di meja nyaris padam, menyisakan bayangan panjang yang patah di dinding. Bayangan itu, seperti hubungan mereka, tidak lagi utuh.
"Benci?" Lin mendesis pelan. "Itu terlalu sederhana, Zhao. Aku lebih dari sekadar benci."
Mereka terdiam lama. Hujan semakin deras, seolah langit turut menangisi kisah mereka yang tragis. Lin mengingat semua janji yang diucapkan Zhao, semua tawa yang dibagikan, semua mimpi yang dirajut bersama. Semuanya hanyalah dusta.
"Kenapa kau melakukan ini, Zhao? Kenapa kau menikahi Mei?" tanya Lin, suaranya bergetar.
Zhao menghela napas. "Aku... aku terpaksa."
Lin tertawa hambar. "Terpaksa? Lalu apa artinya semua janji itu? Semua cinta itu? Apa arti aku bagimu?"
Zhao terdiam.
Lin mengangkat cangkir kopinya, meminum seteguk. Pahit. Sama seperti hidupnya. "Kau tahu, Zhao? Setiap tetes air mata yang kutumpahkan, setiap malam yang kulalui dalam kesendirian, memupuk sebuah rencana. Rencana yang telah lama kutunggu untuk kuwujudkan."
Zhao mengerutkan kening. "Rencana apa?"
Lin tersenyum. Senyum yang dulu mampu membuat Zhao bertekuk lutut, senyum yang kini memancarkan kedinginan yang menusuk tulang.
"Rencana... untuk membalas semua sakit yang kau torehkan."
Ia meletakkan cangkir itu perlahan. Senyum itu semakin lebar, semakin mematikan. Di luar, hujan mulai mereda, menyisakan genangan air yang memantulkan cahaya lentera.
"Kau tahu, Zhao?" Lin berbisik, nyaris tak terdengar. "Mei... SAMA SEKALI TIDAK PERNAH ADA."
You Might Also Like: A Woman Shows Her Flat Stomach Athletic