Wajib Baca! Aku Mencintaimu Dengan Kebodohan, Tapi Kebodohan Itu Terasa Suci
Aku Mencintaimu dengan Kebodohan, Tapi Kebodohan Itu Terasa Suci
Embun pagi merayap di kelopak peony merah, sama halnya dengan air mata yang diam-diam membasahi pipi Lian. Dia, bak bunga itu, indah namun rapuh, menyimpan duri yang tak terlihat. Lian, yang terbiasa hidup dalam kepalsuan, menari di atas panggung kebohongan yang dibangun ibunya, sebuah opera sabun yang tak pernah usai. Dia tahu, setiap senyum palsunya adalah tusukan pada hatinya sendiri, namun ia tak punya pilihan.
Di sisi lain, berdiri Jian, seorang detektif muda yang penuh semangat. Jian adalah matahari, menyinari setiap sudut gelap, termasuk kegelapan yang menyelimuti keluarga Lian. Ia mencium aroma busuk di balik kemewahan, merasakan getaran kebenaran yang tersembunyi di balik senyum manis Lian. Jian terobsesi mencari kebenaran, meski ia tahu kebenaran itu mungkin akan menghancurkannya, menghancurkan dunianya, dan… mungkin juga, menghancurkan Lian.
"Kau tahu, Lian," bisik Jian suatu malam, di bawah rembulan yang pucat. "Kebohongan itu seperti candu. Awalnya manis, lalu perlahan membunuhmu."
Lian hanya tersenyum, sebuah senyum yang lebih terasa seperti tangisan. "Kebohongan adalah satu-satunya yang kumiliki, Jian. Tanpa itu, aku bukan siapa-siapa."
Hubungan mereka rumit, terjalin antara cinta dan kebencian, kebohongan dan harapan. Jian mencintai Lian, dengan sepenuh hatinya, namun ia membenci kebohongan yang mengikatnya. Lian mencintai Jian, dengan rasa bersalah yang menghantuinya, karena ia tahu kebenaran yang dicari Jian akan menghancurkan segalanya.
Konflik demi konflik menekan mereka, bagai gelombang pasang yang semakin tinggi. Jian menemukan petunjuk demi petunjuk, mengungkap lapisan demi lapisan kebohongan. Ia menemukan rahasia kelam keluarga Lian, sebuah pengkhianatan yang terjadi bertahun-tahun lalu, sebuah pembunuhan yang ditutupi dengan sempurna. Setiap petunjuk yang ditemukan Jian, bagai pisau yang menusuk jantung Lian.
Puncaknya datang dengan tiba-tiba, seperti badai yang memporak-porandakan segalanya. Jian menemukan bukti tak terbantahkan yang membuktikan keterlibatan ibu Lian dalam pembunuhan. Lian, yang selama ini hidup dalam kebodohan, akhirnya membuka matanya. Kebodohan yang selama ini ia anggap suci, ternyata adalah penjara yang mengurungnya.
"Kenapa, Ibu?" tanya Lian, dengan suara bergetar. "Kenapa kau melakukan ini?"
Ibu Lian hanya tersenyum dingin, sebuah senyum yang tak mengandung sedikit pun kehangatan. "Aku melakukan ini untukmu, Lian. Untuk melindungimu."
Namun, bagi Lian, perlindungan itu adalah kutukan. Kebenaran itu menghancurkannya.
Balas dendam Lian tidak berteriak, tidak berdarah, tidak penuh amarah. Ia melakukannya dengan tenang, dengan perhitungan dingin. Ia memberikan bukti-bukti yang ditemukan Jian kepada pihak berwajib, menyerahkan ibunya ke pengadilan. Ia tahu, tindakannya akan menghancurkan dirinya sendiri, namun ia tak peduli. Ia lebih memilih kehancuran yang jujur daripada kehidupan yang penuh kebohongan.
Di akhir persidangan, Lian menatap ibunya dengan senyum tipis, sebuah senyum yang menyimpan perpisahan abadi. Senyum itu lebih menyakitkan daripada amarah, lebih menghancurkan daripada air mata. Senyum yang mengatakan, "Aku memaafkanmu, Ibu… namun aku tidak akan pernah melupakanmu."
Jian menyaksikan segalanya dari kejauhan, hatinya hancur berkeping-keping. Ia berhasil menemukan kebenaran, namun kebenaran itu telah menghancurkan wanita yang dicintainya.
Lian kemudian menghilang, tanpa jejak. Meninggalkan Jian dengan penyesalan yang abadi. Ia tahu, ia telah menghancurkan hidup Lian, demi sebuah kebenaran yang mungkin lebih baik tetap tersembunyi.
Di meja kerjanya, Jian menemukan sepucuk surat tanpa nama, dengan tulisan tangan yang familiar. Di dalamnya, tertulis satu kalimat:
Apakah kebenaran itu benar-benar membebaskan, atau hanya sekadar memenjarakan kita dalam rasa bersalah?
You Might Also Like: Master Of Magic Image Collection