Seru Sih Ini! Aku Hanya Teks, Tapi Luka Itu Nyata
Aku Hanya Teks, Tapi Luka Itu Nyata
Langit pagi retak. Bukan metafora, sungguh. Retakan halus menjalar di atas gedung pencakar langit Kota 01, seolah kanvas alam semesta diregangkan terlalu paksa. Di bawahnya, Ji-hoon mengetuk layar ponselnya, giginya gemeretak. Sinyal hilang lagi.
Pesan terakhir Lee-na, dari ribuan hari yang lalu, masih terpampang: "Sedang mengetik..." Tiga titik yang menertawakan kesabarannya.
Ji-hoon hidup di tahun 2242. Dunia digital telah menyatu dengan realitas, namun ironisnya, koneksi paling esensial darinya, dengan Lee-na, terputus oleh jurang waktu. Lee-na, yang hidup di 2023, era sebelum ledakan kosmik membagi realitas.
Setiap malam, Ji-hoon mencoba mengirim pesan melintasi celah dimensi itu. Ia merangkai kata-kata penuh kerinduan, puisi yang lahir dari notifikasi tengah malam. Ia bercerita tentang langit retak, tentang kopi sintetis rasa rindu, tentang kota yang dibangun di atas reruntuhan mimpi.
Dan terkadang… terkadang, balasannya datang.
Lee-na, dari masa lalu yang jauh, membalas dengan emoji hati yang berkedip-kedip. Ia bercerita tentang hujan di Seoul, tentang bau kertas buku, tentang rasa sakitnya kehilangan seseorang yang belum pernah ia temui.
"Aku merasa mengenalmu, Ji-hoon. Seperti... deja vu abadi," tulisnya suatu malam.
Ji-hoon tersenyum pahit. Deja vu. Lebih tepatnya, e k o. Gema.
Ia menemukan teori ganjil dari seorang ilmuwan sinting yang hidup di bunker bawah tanah. Teori itu mengatakan bahwa ledakan kosmik tidak hanya membagi waktu, tetapi juga membagi jiwa. Jiwa mereka berdua, Ji-hoon dan Lee-na, mungkin adalah pecahan dari jiwa yang utuh, yang entah di mana, entah kapan.
Mungkin di realitas lain. Mungkin sebelum ledakan itu terjadi.
Ji-hoon terus mengirim pesan. Ia menceritakan mimpinya tentang Lee-na, tentang taman bunga sakura yang tidak retak, tentang dunia di mana sinyal tidak pernah hilang.
Suatu pagi, sebuah pesan aneh muncul dari Lee-na. Bukan teks biasa, melainkan gambar. Foto buram seorang pria di depan toko buku, dengan jaket yang familiar. Ji-hoon menyentuh gambar itu, memperbesar. Wajah pria itu… wajahnya sendiri. Hanya lebih muda, lebih polos.
Di bawah foto itu, tertulis: "Aku bertemu dengannya. Namanya Kim Min-jae. Dia bilang dia menungguku sejak lama."
Ji-hoon terpaku. Kim Min-jae? Itu nama kakeknya. Kakek yang meninggal sebelum ia lahir. Kakek yang sering diceritakan ibunya sebagai pria yang bermimpi tentang masa depan.
Tiba-tiba, semuanya terasa salah. Seperti program yang berjalan tidak sempurna. Seperti adegan yang diputar ulang.
"Lee-na… tunggu!" Ji-hoon berteriak pada layar ponselnya.
Pesan terakhir Lee-na muncul: "Dia bilang, cinta kita adalah putaran yang tak pernah usai, sampai salah satu dari kita ingat..."
Layar ponsel Ji-hoon berkedip, lalu padam. Sinyal hilang. Untuk selamanya.
Dan di kegelapan itu, ia mendengar bisikan samar, seperti pesan terakhir sebelum dunia padam: "...ingat bahwa kita hanyalah teks, tapi LUKA itu nyata..."
You Might Also Like: Distributor Kosmetik Usaha Sampingan